Minggu, 01 Mei 2011

HALUSINASI

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA


1.1 Defenisi
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) pasca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indra seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Maramis, 2004).
Halusinasai adalah suatu sensori persepsi terhadap suatu setan dan suara manusia yang berbicara terhadap dirinya, sering terjadi pada pasien skizofenia.(Stuart, dkk, 1995).
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli mengenai halusinasi diatas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indra terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.
Sedangkan halusinasi pendengaran adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara-suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
Halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang paling umum. Klien bisa mendengar suara seperti Tuhan, suara setan atau suara orang-orang terdekat yang diterima sebagai suatu yang berbeda dari pemikiran klien.

  • Klasifikasi
    Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :
Halusinasi menurut Rasmun (2001), itu dapat menjadi :
1.      Halusinasi penglihatan (Visual, optic) : Tak berbentuk (sinar, kilapan atau pola atau cahaya) atau yang berbentuk (orang, binatang, barang yang dikenal) baik itu yang berwarna atau tidak).
2.      Halusinasi pendengaran (akustik) : suara manusia, hewan, binatang, mesi, barang, kejadian alamiah atau music.
3.      Halusinasi penciuman (olfaktorius) : mencium sesuatu bau.
4.      Halusinasi pengeap (gustatorik) : Merasa / mengecap sesuatu.
5.      Halusinasi Peraba (taktil) : merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari atau seperti ada ulat bergerak dibawah kulitnya.
6.      Halusinasi Kinestetik : Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan atau anggota badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau phantomlimb).
7.      Halusinasi Veseral : Perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya.
8.      Halusinasi Hipnagogik : Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tetap sebelum tidur persepsi sensorik bekerja salah.
9.      Halusinasi hipnopompik : Seperti nomor 8, tetapi terjadi tepat sebelum terbangun sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik dalam impian yang normal.
10. Halusinasi hiterik : Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.

1.      Data subjek
·         Mendengar suara – suara
·         Takut terhadap suara – suara yang di dengar Ingin memukul dan menampar barang
2.   Data objek
·         Dirawat ketiga kalinya dengan alasan amuk
·         Klien sering berbicara sendiri

Tindakan keperawatan kepada keluarga pasien:
-     Jelaskan kepada keluarga untuk tetap mempertahankan hubungan dengan klien yaitu memperlihatkan perhatian dirumah.
-     Jelaskan kepada keluarga tentang kebutuhan klien.
-     Berikan pendidikan kesehatan halusinasi pendengaran pada keluarga ps.
-     Jelaskan kepada keluarga tentang pemberian obat.
1.2. Etiologi

Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.

1.3. Patofisiologi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.

1.4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).

1.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
  1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
  2. Melaksanakan program terapi dokter Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
  3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
    Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
  4. Memberi aktivitas pada pasien Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
  5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
    Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
1.6.  Tingkat Ansietas Halusinasi
a.   Tahap I Menenangkan      : Ansietas tingkat sedang.
      Karakteristik : orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti ansietas, masa gelisah & takut serta mencoba untuk memutuskan pada. Penenangan fikiran untuk mengurangi ansietas, individu mengetahui bahwa fikiran sensori untuk mengurangi ansietas , individu mengetahui bahwa fikiran sensori yang dialami tersebut dapat dikendalikan jika ansietas dapat diatasi.
b.   Tahap II Menyalahkan      :  Ansietas tingkat berat.
      Karakteristik: pengalaman sensori bersifat menjijikan dan menakutkan, orang yang berhalusinansi mulai merasa kehilangan kendali dan mungkin berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersiapkan, individu mungkin berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersiapkan, individu mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari oranglain.
c.   Tahap III Mengendalikan             : Ansietas tingkat berat.
      Karakteristik : orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi dapat berupa pemohonan indifidu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut berakhir.
d.   Tahap IV Menaklukkan    : Ansietas tingkat berat
      Karakteristik : pengalaman sensori mungkin menaklukkan jika individu mengikuti perintah bisa berlangsung dalam beberapa jam perhari jika tidak ada intervensi kelompok.
1.7.      Pohon Masalah
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Perubahan persepsi sensori ” halusinasi pendengaran/penglihatan”
Isolasi Sosial ” menarik diri”
Gangguan Konsep diri ” HDR”
1.8. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
  1. Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
    • Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
    • Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
    • Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
    • Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
    • Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
  1. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman / tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
  1. Perilaku
    Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
    • Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
    • Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
    • Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
    • Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
    • Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
  1. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
  1. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
1.9. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
  1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.
  2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
  3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
 1.10. Intervensi
Diagnoasa 1.         : Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
      Tujuan                   : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil         :
  1. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
  2. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan
  3. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
Intervensi
  • Bina Hubungan saling percaya
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
  • Dengarkan ungkapan klien dengan empati
  • Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
  • Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
  • Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
  • Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
  • Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien.
  • Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
  • Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
  • Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
  • Bantu klien menggunakan obat secara benar.

Diagnosa 2.:
Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
  2. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
  3. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
  4. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
  5. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan keluarga
Intervensi :

Intervensi
1.Membina hubungan interpersonal, saling percaya
2. Mengkaji gejala halusinasi
3. Fokus pada gejala dan minta individu untuk menguraikan apa yang sedang terjadi.
4. Identifikasi kemungkinan pernah menggunakan obat atau alcohol
5. Jika ditanya, katakana secara singkat bahwa anda tidak sedang mengalami stimulasi yang sama.
6. Buntu individu untuk menguraikan dan membandingkan halusinasi yang sekarang dengan terakhir dialaminya.
7. Dorong individu untuk mengamati dan menguraikan pikiran, perasaan dan tindakan sekarang atau yang lalu berkaitan dengan halusinasi yang dialami.
8. bantu individu menguraikan kebutuhan yang mungkin tercermin pada pada isi halusinasinya.
9. bantu individu mengidentifikasi apakah ada hubungan antara halusinasi dengan kebutuhan yang mungkin tercermin.
10. Sarankan dan perkuat penggunaan interpersonal dalam pemenuhan kebutuhan.
11. Identifikasi bagaimana gejala psikologis lain telah mempengaruhi kemampuan

Diagnosa 3.:
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
  2. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
  3. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri
  4. pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya
  5. Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan
Intervensi :
Intervensi
o        Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi fisik.
o        Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
o        Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.
o        Berikan pujian.
o        Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
o        Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
o        Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
o        Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap stressor.
o        Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan perilakunya.
o        Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
o        Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
o        Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
o        Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
o        Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
o        Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya bukan orang lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar